Menu
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

budaya Jawa adalah salah satu budaya tradisonal di Indonesia yang sudah cukup tua

             

Pengertian budaya Jawa adalah salah satu budaya tradisonal di Indonesia yang sudah cukup tua, dianut secara turun temurun oleh penduduk di sepanjang wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun banyak orang Jawa menganggap bahwa budaya Jawa itu hanya satu dan tidak terbagi-bagi, akan tetapi dalam kenyataannya terdapat berbagai perbedaan sikap dan perilaku masyarakatnya di dalam memahami budaya Jawa tersebut (Sedyawati, 2003). Perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi geografis yang menjadikan budaya Jawa terbagi ke dalam beberapa wilayah kebudayaan, dimana setiap wilayah kebudayaan memiliki karakteristik khas tersendiri dalam mengimplementasikan falsafah-falsafah budaya Jawa ke dalam kehidupan keseharian (Sujamto, 1997 dalam Sedyawati, 2003).
Salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya oleh masyarakat Jawa adalah falsafah hidup. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat yang biasanya tercermin dalam berbagai ungkapan yang dikenal dalam masyarakat (Sedyawati, 2003).
Endraswara (2003) mengatakan bahwa watak dasar orang Jawa adalah sikap nrima. Nrima adalah menerima segala sesuatu dengan kesadaran spiritual-psikologis, tanpa merasa nggrundel (menggerutu karena kecewa di belakang).
Apapun yang diterima dianggap sebagai karunia Tuhan. Mereka cenderung menerima dengan kesungguhan hati apapun hasilnya asalkan ada usaha yang lebih dulu dilakukan. Jika usaha yang dilakukan gagal, orang Jawa cenderung menerimanya sebagai sebuah pelajaran. Nrima bukan berarti tanpa upaya yang gigih, namun hanya sebagai sandaran psikologis. Hal ini berarti orang Jawa mempunyai kewajiban moral untuk menghormati tata kehidupan yang ada di dunia ini. Mereka harus menerima kehidupan sebagaimana adanya sambil berusaha sebaik-baiknya dan menumbuhkan kedamaian jiwa serta ketenangan emosi.
Ketika orang Jawa dihadapkan dengan suatu konflik, mereka cenderung menghadapinya dengan memilih untuk diam dan tidak rewel (melawan) karena prinsip dasar dari kebanyakan orang Jawa adalah “lebih baik hidup rukun daripada harus berulah dengan orang lain”. Artinya orang Jawa begitu menjunjung tinggi sifat keramahtamahan dan nilai kerukunan antar sesama sehingga begitu menghindari konflik demi mencapai kedamaian dalam hidup (Suseno, 2001). Lebih lanjut Bratawijaya (1997) mengatakan bahwa orang Jawa dikenal memiliki sikap yang lamban, tidak mau tergesa-gesa dalam melakukan pekerjaan, sopan santun, lemah lembut, ramah dan sabar.  https://www.psychologymania.com/

                 Pengertian budaya Jawa adalah salah satu budaya tradisonal di Indonesia yang sudah cukup tua, dianut secara turun temurun o...
SANKRAMA Rabu, 31 Agustus 2022
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

6 Tradisi Jawa yang Masih Lestari hingga Kini

Selain budaya yang kental, masyarakat Jawa juga terkenal dengan berbagai macam tradisi yang masih lestari hingga saat ini. Adat dan budaya tak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan satu sama lain.

Di adat Jawa, ritual yang berlangsung dinamakan upacara adat, yang kelestariannya masih terjaga sampai sekarang. Berikut upacara adat atau tradisi di Jawa yang masih kental.

1. Tingkeban
Upacara adat tingkeban merupakan kan ritual yang dilakukan oleh seorang perempuan yang hamil dengan kandungan usia 7 bulan. Dalam upacara mitoni acara ini meliputi siraman air bunga serta doa agar kandungan selamat sampai Hari-H persalinan.
2. Tedak siten
Merupakan upacara adat dimana bayi yang mulai belajar jalan dimasukkan ke dalam sangkar ayam. Upacara turun-temurun ini dilakukan dengan tujuan sebagai rasa syukur orang tua atas kesehatan anaknya yang sudah bisa menapaki alam sekitar.

3. Pernikahan adat Jawa
Pernikahan adat Jawa terkenal dengan tradisi dan budayanya yang unik. Hal ini karena banyak tahapan dan proses yang harus dilalui seperti siraman, Midodareni, serah-serahan, upacara ngetik, Balangan suruh, nyantri, ritual kacar-kucur, temu penganten, ritual dhahar klimah, upacara sungkeman, dan lain-lain.
4. Slametan
Slametan biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mendoakan para leluhur agar diberikan ketentraman. Upacara ini merupakan hasil akulturasi dari Jawa dan Islam.
5. Larung Sesaji
Tradisi Larung sesaji biasanya dilakukan oleh masyarakat yang hidup di pesisir pantai. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil tangkapan ikan serta keselamatan dalam berusaha.
Biasanya dalam tradisi ini masyarakat menyembelih hewan yang dilarungkan setiap tanggal 1 Muharam.
6. Kebo-keboan
Tradisi kebo-keboan biasanya dilakukan masyarakat Jawa untuk menolak segala bala dan musibah pada hasil panen mereka. Dalam tradisi ini ini 30 orang didandani menyerupai kerbau dan diarak keliling kampung. Saat berkeliling, mereka juga berjalan layaknya kerbau yang sedang membajak sawah. https://kumparan.com/


Selain budaya yang kental, masyarakat Jawa juga terkenal dengan berbagai macam tradisi yang masih lestari hingga saat ini. Adat dan budaya ...
SANKRAMA Selasa, 30 Agustus 2022
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

Falsafah Jawa tentang Keluarga dan Artinya

Setiap orang dapat memaknai arti kehadiran keluarga dan menjalaninya dengan berbeda-beda. Hal ini tentu didasarkan dari pengalaman dan interaksi di dalam keluarga. Selain itu, ada cara lain untuk mendalami makna dan kehidupan berkeluarga, salah satunya dengan memahami pepatah ataupun peribahasa tradisional.

Pepatah Jawa termasuk yang sangat populer, banyak dikenal di masyarakat, dan masih sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Bahasanya singkat namun penuh makna. Merangkum dari berbagai sumber, berikut ini beberapa pepatah Jawa tentang keluarga beserta artinya. Monggo diwaca, Moms!

1. "Kacang manut lanjaran"

Anak akan mengamati, meniru, serta mengikuti perilaku orang tuanya. Karena itu, orang tua harus selalu bersikap baik guna memberi contoh budi pekerti dan sopan santun pada anaknya.

2. "Mikul dhuwur, mendhem jero"

Anak perlu menjunjung tinggi kebaikan orang tua serta mengubur dalam-dalam keburukan orang tua.

3. "Mangan ora mangan sing penting ngumpul"

Meski merantau demi mencari kehidupan yang lebih baik itu penting, keluarga tidak boleh dilupakan begitu saja. Tetap ingatlah keluarga kita, karena keluarga adalah elemen penting dalam hidup kita dan merupakan tempat kita berasal.

4. "Anak polah, bapak kepradhah"

Anak perlu menjaga perilakunya, karena apa pun yang dilakukan anak akan menimbulkan dampak yang harus ditanggung oleh orang tuanya. Ini juga bisa menjadi peringatan bagi orang tua agar bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya.

5. "Dumadining sira iku lantaran anane bapak biyung ira"

Secara harfiah, falsafah ini berarti "Adanya dirimu itu adalah melalui bapak-ibumu". Bila diartikan, dapat bermakna seorang anak perlu bersikap baik atau hormat pada orang tua, karena tanpa bapak dan ibunya, maka ia pun tidak akan ada.

6. "Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah"

Relasi antar anggota keluarga yang rukun dan damai akan membuat hidup terasa bahagia, aman, dan sejahtera. Tapi sebaliknya, jika Anda selalu bertikai, maka keluarga bisa terpecah belah dan penuh masalah.

7. "Mbangun kromo ingkang satuhu, boten cekap bilih ngagem sepisan roso katresnan. Hananging butuh pirang pirang katresnan lumeber ning pasangan uripmu siji kui"

Falsafah ini kurang lebih memiliki arti bahwa membangun pernikahan yang kuat dan sukses tidaklah cukup dengan sekali jatuh cinta, tetapi butuh berkali-kali jatuh cinta pada pasangan Anda.

8. "Witing tresna jalaran saka kulina, witing mulya jalaran wani rekasa"

Falsafah ini mempunyai makna bahwa cinta itu tumbuh karena kebiasaan dan kemakmuran timbul karena berani hidup bersusah dahulu.

9. "Emban cindhe, emban siladan"

Secara harfiah, falsafah ini berarti "menggendong dengan selendang, menggendong dengan rautan bambu". Ungkapan ini bisa dimaknai bahwa orang tua tidak boleh membeda-bedakan perhatian kepada anak.

10. "Abot telak karo anak"

Mengartikan situasi di mana orang lebih mementingkan dirinya daripada anaknya sendiri. https://motherandbeyond.id/

Setiap orang dapat memaknai arti kehadiran keluarga dan menjalaninya dengan berbeda-beda. Hal ini tentu didasarkan dari pengalaman dan inter...
SANKRAMA Minggu, 28 Agustus 2022
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

Makna Falsafah Jawa "Sangkan Paraning Dumadi"



Sangkan Paraning Dumadi, merupakan filosofi atau ajaran dalam ilmu Kejawen (kepercayaan tradisional Jawa) tentang bagaimana cara manusia menyikapi kehidupan.

Dalam bahasa Jawa kuno, sangkan  berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta.  Dengan begitu bahwa yang dimaksud Sangkan Paraning Dumadi  adalah pengetahuan tentang "Dari mana manusia berasal dan akan kemana ia akan kembali."

Keberadaan manusia dan alam semesta merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi, yaitu Dzat Pencipta Alam Semesta, Tuhan Yang Maha Esa.   Kelak pada akhirnya seluruh alam semesta akan kembali kepada-Nya.

Sangkan Paraning Dumadi  dalam filosofi Kejawen mengajarkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam menjalani kehidupan ini kita harus mendekati nilai-nilai luhur ketuhanan.  Nilai-nilai luhur ketuhanan antara lain adalah jujur, adil, tanggung-jawab, peduli, sederhana, ramah, disiplin dan komitmen.Karena itu, ada sebagian orang yang mengidentikkan pengetahuan Sangkan Paraning Dumadi dengan filosofi 'Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojii'un. Yang artinya "Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali."   Bacaan tersebut biasa diucapka oleh umat Islam apabila mendengar kabar duka cita kematian atau musibah. 

Dalam al-Quran kalimat tersebut terdapat pada surat Al-Baqarah: 155-157,  "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun." Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."

Tubuh manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jasmaniah berupa badan tubuh dan ruhaniah sebagai isinya.

a.  Jasmani sebagai materi benda diciptakan dari unsur alam, yaitu tanah, air, udara dan api (panas). Karena asalnya dari bahan sari pati alam, maka kelak jasmani akan kembali ke alam lagi. Yang tanah kembali kepada tanah, yang udara kembali kepada udara, yang api kembali kepada api, dan yang air akan menyatu kembali kepada air.

b.  Ruh yang didalamnya terkandung Jiwa, merupakan sesuatu yang tidak berwujud materi, terdiri dari tiga unsur ruhaniah yaitu akal, nafsu dan hati/perasaan.  Dari unsur2 itulah diri manusia bisa melihat, mendengar, sedih, gembira, marah, benci, cinta, iba, kasih sayang,  berfikir dan sebagainya.

Dalam kitab suci Al-Qur'an, Allah berfirman: "Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh (ciptaan) Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagi kamu".(Q.S. As-Sajdah, 32: 9).

Ruh atau jiwa tidak akan bisa hancur seperti jasmani. Ia akan tetap utuh sampai kapanpun. Lantas kemana kembalinya ruh apabila seseorang telah meninggal dunia?  Ilmu Jawa Kuno mempercayai bahwa bila manusia telah meninggalkan kehidupan dunia maka ruhnya akan kembali lagi kepada Sang Hyang Widhi, yaitu Tuhan YME.

Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman: "Wahai jiwa yang tenang.Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang ridha dan di-ridhai-Nya.Kemudian masuklah ke dalam (golongan) hamba-hamba-Ku,Dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS. Al-Fajr: 27-30)

Ruh dan jiwa memang sejatinya hanya milik Allah semata dan Dia-lah yang menjaganya. Hal ini bisa kita lihat pada kondisi tertidur. Dalam tidur jiwa kita pergi mengembara meninggalkan jasad, sementara ruh tetap tinggal bersama jasad untuk menghidupinya. Kemudian jiwa kembali lagi saat kita terbangun.

Jiwa bisa menjadi kuat dan sehat jika dilatih dan dirawat dengan baik, namun ia juga bisa menjadi rusak, sakit dan lemah jika tidak dirawat dengan baik.  Jiwa bisa mencapai derajat yang tinggi dan mulia, bisa juga jatuh kederajat yang amat hina, lemah tidak berdaya.

Sepuluh Filosofi Kejawen

Dalam ajaran ilmu falsafah tradisional Jawa kuno, falsafah Sangkan Paraning Dumadi  disertai dengan falsafah hidup lainnya, antara lain :

1.  Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Menebar kebaikan untuk kemakmuran dunia, memberantas kemungkaran).  Maknanya, dalam kehidupan dunia manusia harus menebarkan kemakmuran (kedamaian dan kesejahteraan) bagi alam semesta; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.  Dalam agama Islam, dikenal dengan "Rahmatan lil alamin" dan "Amar makruf nahi munkar".

2. Urip iku urup (hidup itu menyala).  Maksudnya adalah hidup itu haruslah menjadi penerang   bagaikan lentera. Maknanya dalam hidup orang hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik. Dalam agama Islam, Rasulullah bersabda, khairunnas anfa'uhum linnas , "manusia yang paling baik ialah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.

3.  Ajining raga saka busana, Ajining diri saka lathi lan budi  (Kehormatan raga berasal dari busana, Kehormatan diri berasal dari lisan dan prilaku).  Maknanya, kehormatan luar seseorang bisa dilihat dari cara berpakaiannya. Sedangkan kehormatan diri (akhlak) dilihat dari cara berkomunikasi dan moral prilakunya.   Dalam agama Islam, Rasulullah bersabda, "Hiyaa Rukum 'Akhaa Sinukum Akhlaaq", Sebaik-baik orang diantara kalian ialah orang yg baik akhlaknya. (HR. Bukhari & Muslim).

4.  Ngunduh wohing pakarti (Menuai hasil dari perbuatan).  Bahwa setiap perbuatan (baik atau buruk) pasti akan mendapat balasan.  Maknanya semua orang akan mendapatkan kebaikan atau keburukan akibat dari segala perilakunya sendiri. Jadi kita harus ingat untuk berhati-hati dalam bersikap dan bertindak.  Allah SWT berfirman: "Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah - Wa man Ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah"  artinya barangsiapa yang mengerjakan kebaikan atau keburukan, meski sebesar zahrah (debu/atom) niscaya akan memperoleh balasan (QS. Al-Zalzalah: 7-8)

5.  Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Landhep tanpa natoni.  (Menyerbu tanpa pasukan, Menang tanpa merendahkan, dan Tajam tapi tak melukai). Maknanya, dalam menghadapi lawan, manusia yang baik adalah yang mampu mengalahkan dengan cara luhur penuh kebajikan.  Mereka mampu melawan tanpa membawa massa atau pasukan (sendirian). Dan mampu memenangkan perang tanpa merendahkan atau mempermalukan lawan, bahkan lawanpun merasa tak terluka.

6.  Sugih Tanpa Bandha, Sekti Tanpa Aji-Aji (Menjadi kaya tanpa harta kekayaan. Menjadi sakti tanpa ajian).  Maknanya bahwa orang kaya itu bukanlah orang yang banyak harta tetapi orang yang besar jiwanya. Sedangkan orang bisa menjadi hebat dan kuat itu tidaklah dengan mantra tetapi dengan ilmu.

7. Lembah manah lan Andhap asor. Dalam bahasa jawa pengertian "lembah manah" dan "andhap asor"   mempunyai pengertian yang mirip, yaitu bersikap rendah hati dan sopan santun.  Filosofi ini bagai pepatah: "Seperti ilmu padi, kian berisi kian merunduk" artinya: semakin tinggi ilmunya semakin rendah hatinya; kalau sudah pandai jangan sombong, selalulah rendah hati.  Dalam Islam sikap luhur seperti itu dikenal dengan istilah "tawadhu".

8.  Mati sakjeroning urip (mati di dalam hidup). Maknanya, jalan menuju pulang (kematian) itu adalah jalan yang harus ditapaki oleh seseorang sejak sekarang. Sejak hidup di dunia ini, kita sudah diseru untuk merenungi (dan mempersiapkan bekal) kematian.   Hal itu bisa dilakukan dengan cara bersemedi, atau dalam khasanah Islam adalah berkhalwat dan berdzikir, yaitu memutuskan hubungan dengan masalah masalah duniawi untuk bertafakur,  tadabur dan tasyakur.

9.  Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).

10.  Becik ketitik - Ala ketara (Perbuatan baik akan ketahuan, perbuatan buruk akan terungkap).  Maknanya bahwa bagaimanapun juga perbuatan yang baik maupun yang jahat pasti akan terungkap juga. Maka selalulah untuk berbuat baik. https://www.kompasiana.com/




Sangkan Paraning Dumadi, merupakan filosofi atau ajaran dalam ilmu Kejawen (kepercayaan tradisional Jawa) tentang bagaimana cara manusia men...
SANKRAMA
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

Lunturnya Nilai Ketimuran Bangsa Indonesia Oleh Produk Kapitalisme Budaya Massa

 Masih ingatkah anda film berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”?sebuah film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama karya sastrawan Minangkabau, Buya Hamka. Meski ada banyak celah perbedaan di film dan novel seperti ekranisasi pada umumnya, film berdurasi kurang lebih tiga jam ini menyuguhkan hal-hal yang jarang ditampilkan sineas Indonesia yang mewakili esensi novel Hamka tentang adat, agama, dan cinta.Tiga hal tersebuttelah mewakili nilai universalitas yang dimiliki orang-orang timur, khususnya Indonesia.Karena di dalam film tersebut tersimpan pesan dalam bahasa puitik khas Minang.


Indonesia memang bukan Cina yang kini menjadi poros ‘Eastern Civilization’ (Peradaban Timur) dengan sejarah panjang sebagai salah satu kebudayaan tertua di dunia maupun Jepang yang menjadi satu-satunya bangsa Asia sebagai kontestan gladiator di PD II.Keduanya merepresentasikan wajah ‘timur’ secara berbeda.Cina yang Budha dengan nilai luhur Kongfusian, serta Jepang dengan tradisi Sinto yang percaya bahwa kaisar mereka keturunan Dewa Matahari.Namun konsepsi universalitas secara umum dalam nilai ketimuran tidak pernah berbeda.Perbedaannya malah melahirkan konsep unik bagi wajah ketimuran Indonesia yang didominasi ideologi yang dibawa kaum pedagang dari Persia dan Gujarat (Islam).

Islam Tak Hilangkan Nilai-nilai Lokal

Islam yang dikenal sebagai agama padang pasir telah tumbuh subur di negeri agraris, mengubah nilai-nilai lokal melalui akulturasi budaya tanpa menghilangkannya. Justru nilai ketimuran yang dibalut agama Islam di negeri gemah ripah loh jinawiini semakin menunjukkan wajah ketimuran Indonesia yang santun, seperti terlihat di film ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’. Gambaran kisah cinta dua sejoli yang diperankan apik oleh Herjunot Ali dan Pevita Pearce menunjukkan wajah ketimuran sesungguhnya di masa lampau (novel Hamka ditulis sekitar tahun 1930an dan menjadi kritik adat masa itu).Kisah cinta Zainuddin dan Zainab tidak diumbar lewat syahwat kontak fisik seperti pelukan, pegangan tangan, atau bahkan ciuman. Romantisme suara hati mereka diwakili oleh surat. Kalau kata Andrea Hirata, “Sungguh Melayu.”
Mungkin tidak semua orang tahu istilah budaya massa atau budaya populer (pop culture), namun kenyataan bahwa nilai timur yang menjadi jati diri kita mulai memudar terlihat sekarang ini. Budaya massa adalah budaya populer yang diproduksi untuk pasar massal. Menurut catatan, benturan tradisi dan budaya pop di Indonesia menggeliat pada dekade ‘80an yang ditandai dengan perubahan situasi sosial ekonomi Indonesia yang mengarah pada liberalisasiekonomi, membuka kantong budaya urban yang mengarah pada budaya pop. Dengan kata lain masyarakat kita dipaksa untuk mengikuti aturan yang dibuat para kapitalis dengan standar ‘pasar’. Di sinilah awal mula kehancuran budaya yang tidak kita sadari.
Jika kita menoleh ke belakang, tumbangnya Orde Baru merupakan gerbang revolusi

kebudayaan.Banyak nilai luhur yang diajarkan di zaman Orba mulai ditinggalkan.Arus investasi asing seakan meluber membawa produk mereka di bidang ekonomi, teknologi, sosial, politik maupun budaya.Alih-alih menyerukan Sila ke-5 bak revolusioner sejati, agen intelektual kapitalis menjajakan isu demokrasi, pluralisme, serta hak asasi yang dahulu terhegemoni rezim represif Orba.Puncaknya adalah kebebasan pers, kebebasan berpendapat, serta kebebasan berkreasi.Arus bebas ini seolah menjadi pakem ‘demokrasi’ yang malah kebablasan. Kesalahannya ‘Reformasi’ (revolusi sistem politik) ini turutmereformasi budaya pada masyarakat yang estetik-relijius menjadi ‘budaya pasar’, sebuah perubahan yang mendikte masyarakat kita menjadi komoditas perdagangan yang ditentukan pasar. Nilai yang dijajakan media pun bukan ‘apa yang masyarakat butuhkan’, tapi ‘apa yang pasar minta’.

Lunturnya Nilai Luhur Ketimuran

Struktur masyarakat Indonesia yang ketimuran merupakan kemajemukan komunal dan membentuk budaya massa. Di Jawa ada istilah “urip kuwi wang sinawang”. Hal ini bisa diinterpretasikan sebagai “pengalaman orang lain bisa dijadikan pembelajaran”, atau malah “kalau dia aja bisa/punya kenapa saya enggak”. Relasi psikologis dalam masyarakat massa telah mengatomisasi masyarakat secara sosial maupun secara moral. Budaya massa yang membentuk jiwa konsumtif menuntut masyarakat untuk mengejar gaya hidup demi memenuhi strata sosial yang ‘sejajar’. Lebih dari itu, jika tidak ada kerangka aturan moral yang memadai, maka masyarakatakan berpaling pada moralitas pengganti.Di sini budaya massa memainkan peranan dalam artian budaya massa itu dipandang sebagai salah satu sumber utama suatu moralitas pengganti. Masyarakat secara individu maupun komun rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi media massa dan budaya populer. Mudahnya, kita lebih percaya apa kata tivi daripada petuah ulama dan kyai serta nasehat orang tua.
Nilai luhur ketimuran kita mulai luntur lantaran adanya pergeseran nilai estetik-relijius.Hal ini terjadi karena kita memberikan ruang kebebasan pada budaya massa yang menjajakan dongeng bagi masyarakat konsumer. Gawatnya masyarakat konsumer yang menjadi komoditas perdagangan adalah generasi muda kita.Kali ini bangsa kita bukan hanya lengah, tapi di ambang kehancuran.Pola pikir masyarakat kita sedang dimainkan secara bawah sadar bahwa agama tidak membawa perubahan signifikan dalam hidup.Persis seperti dogma kaum kapitalis yang terus diserang Vatikan.
Kalau kita melihat film ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’, pasti terasa kontras dengan sinetron kita yang menjamur di waktu prime-time dengan menjajakan kisah picisan tentang gaya hidup, kelas sosial, rebutan warisan, cerita cinta anak di bawah umur, pergaulan dalam sekat geng, hedonisme akut, konflik rumah tangga, anak yang berani pada orang tua, kisah cinta berumbar nafsu dan lain sebagainya. Seperti budaya Valentine’s Day yang dipuja sebagai Hari Cinta, merupakan produk kapitalisme budaya massa yang telah menjajah nilai ketimuran. Cinta bukan lagi romantika surat bertajuk puisinya Zainuddin untuk Hayati, tapicoklat yang sekarang dibonusi ‘alat kontrasepsi’. Ini merupakan penjajahan moral yang sangat berbahaya.

Media Massa sebagai Guru Baru

Media massa adalah alat kapitalis, produk budaya pop, yang kini dianggap sebagai ‘guru baru’, ‘sumber inspirasi’, ‘agama digital’ dan sebagainya. Bahkan estetika reliji yang klasik dan lebih pure, rusak oleh citra media. Agama kini bisa diakses secara bebas melalui media digital sehingga tidak ada jalur kemurnian pemindahan ilmu dari guru kepada murid. Kebebasan akses ilmu agama ini menciptakan miskonsepsi dan misinterpretasi terhadap ayat maupun hadits.Di sini terjadi lagi invasi dalam hal agama.Walhasil, kini lahir sekte-sekte yang beragam dari hasil interpretasi kitab suci yang beragam pula.
Menilik peran media massa yang gencar menjajakan budaya massa juga merupakan alat politik pemerintah baik pada fungsinya sebagai alat propaganda, media pencitraan maupun menyebarluaskan ide-ide pemerintah, maka yang bisa menekan arus bebas media yang kebablasan ini hanya pemerintah. Apalagi fenomena budaya massa di atas bisa menghancurkan kita secara perlahan. Kehancuran terbesar suatu bangsa bukanlah genosida, melainkan kehancuran budaya lantaran kehilangan jati diri bangsa.Cina dan Jepang tetap kokoh mempertahankan nilai-nilai budaya mereka meski arus globalisasi tak terbendung.Bahkan Cina sebagai poros ‘Peradaban Timur’ mampu mengimbangi dominasi ‘Peradaban Barat’.Bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan ragam budaya dan disatukan oleh keragaman itu di bawah panji Merah Putih serta ideologi Pancasila.Saat ini baru ormas-ormas legal (bukan tandingan) yang mampu memberikan pelajaran moral bagi masyarakat terkait isu dekadensi, entah itu lewat pengajian klasikal atau konsolidasi rutin.Diharapkan seluruh elemen bangsa ikut bahu membahu menangkal arus negatif globalisasi yang berdampak pada lunturnya nilai luhur ketimuran kita, nilai moral, serta adat dan agama.Masyarakat masih menanti janji kampanye pemerintah tentang implementasi ‘Revolusi Mental’, bukan hanya dongeng pencitraan semata. (*)

*Oleh: Alfi Arifian

  Masih ingatkah anda film berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”?sebuah film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama karya sastra...
SANKRAMA Sabtu, 27 Agustus 2022
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

Agama dan Budaya Tak Bisa Dipisahkan dalam Sejarah Islam di Indonesia




Agama dan budaya di Indonesia, jika dilihat dari konteks Islam yang berkembang dan hidup di Nusantara ini telah menjadi hubungan simbiosis. Agama butuh alat atau pun metode untuk disampaikan kepada masyarakat. Agar orang paham terhadap agama, maka dibutuhkan metode ataupun alat supaya agama itu bisa dipahami orang.

“Dalam konteks ke-nusantaraan yang ada di Indonesia, budaya, tradisi dan seni itu menjadi alat untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama,” ujar budayawan Ngatawi Al-Zastrow atau yang biasa disapa Sastro, di Jakarta, Jumat (13/4).

Dijelaskan, beberapa hal yang perlu dicatat mengapa di Nusantara ini agama dan budaya atau budaya dan tradisi menjadi alat atau metode dalam penyampaian agama. “Pertama, supaya agama lebih mudah dipahami. Karena kalau pesan-pesan agama disampaikan dengan cara-cara Timur Tengah tentunya akan ada kesenjangan budaya. Sehingga akan kesulitan untuk memahami dan menerima pesan-pesan agama itu kalau metode Arab itu yang dipakai,” ujarnya.

Oleh karena itu, sejak jaman Walisongo digunakanlah metode atau tradisi nilai-nilai kultur orang lokal Nusantara ini sebagai alat untuk menyampaikan. Dan itu terbukti ampuh, sehingga dalam waktu kurang dari 50 tahun, Walisongo mampu meng-Islamkan masyarakat Nusantara dari yang semula 90% Hindu-Budha berbalik menjadi 90% Islam.

“Padahal selama 8 abad, Islam tidak berkembang di bumi Nusantara ini. Data sejarah menunjukkan abad ke-8 Islam sudah masuk di bumi Nusantara melalui berbagai pintu, baik dari pintu Aceh, pintu Jawa dan pintu macam-macam,” ujarnya.

Namun, pada kenyataaanya Islam sendiri baru berkembang pada abad ke-15 di zaman Majapahit yang artinya ada masa kevakuman dari abad ke-8 sampai abad ke-15 yang mana Islam di Nusantara ini belum bisa diterima oleh bangsa Nusantara. Kevakuman itulah yang kemudian dikoreksi oleh para wali dan ternyata ada kesalahan dalam menyampaikan pesan.

“Akhirnya disampaikan dengan bahasa, cara, budaya, tradisi yang berkembang di masyarakat, baru Islam itu bisa masuk. Dengan cara yang disampaikan para wali itulah akhirnya melahirkan tembang, gending, syair, babat, serat, sastra dan sebagainya itu. Sehingga dengan kebudayaan ini lebih mudah diterima,” kata mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU ini.

Lalu yang kedua digunakannya kebudayaan sebagai metode atau alat dalam menyampaikan ajaran Islam dikarenakan dengan kebudayaan ini wajah Islam menjadi menyenangkan dan kompatibel dengan tradisi lokal yang berkembang di masyarakat.

“Sebab ada kesenjangan budaya kesannya kalau kita langsung pakai cara-cara metode Arab itu orang menjadi defence culture. Kesenjangan kultural inilah yang menyebabkan akhirnya ada defence culture. Nah untuk mengatasi adanya defence culture itu maka inilah kebudayaan yang menjadi Wasilah,” ujar mantan asisten pribadi Presiden RI ke-4, almarhum Abdulrahman Wahid (Gus Dur) ini.

Dengan cara-cara inilah, menurutnya, Islam menjadi lebih kreatif. Meski ajarannya tidak diubah, ekspresinya menjadi lebih bisa beragam dan menunjukkan Islam itu kebenarannya akan tetap abadi di setiap tempat dan waktu.

“Karena budaya-budaya yang ada di masing-masing tempat itu bisa menerima dengan baik dan bisa ekspresikan Islam dengan gayanya masing-masing dari segi kultural tanpa harus merubah ajaran-ajaran yang sudah baku. Inilah yang perlu dipahami masyarakat pemeluk agama Islam,” ujarnya.

Menurutnya, dengan Islam yang seperti ini, maka orang menjadi tidak mudah marah. Karena kalau Islam ini sedikit sedikit marah, ditunjukkan dengan emosi ataupun kemarahan-kemarahan, akhirnya orang menjadi berpikir mengapa ajaran Islam ini ajarannya marah-marah.

“Kita juga perlu marah tetapi harus pada tempatnya. Kalau kita marah dan mengatasnamakan marah itu pada hal-hal yang sifatnya membesar-besarkan masalah, maka orang jadi mikir seperti masalah sedikit dibesar-besarkan yang akhirnya sama saja dengan mengkerdilkan Islam itu sendiri,” ujarnya.

Terkait dengan puisinya Sukmawati yang bikin heboh masyarakat, menurutnya, ini mengindikasikan bahwa taraf keberagamaan masyarakat Indonesia ini cenderung masih bersifat legal formalistik, di mana masih menjadi orang yang mudah kaget, mudah marah, dan mudah terkejut. Padahal sebetulnya puisi itu adalah puisi otokritik yang dapat menjadi bahan refleksi bagi masyarakat semuanya.

“Misalnya ketika mbak Sukma mengatakan bahwa ‘Kidung ibu lebih indah daripada adzan mu’. Nah ‘Mu’ ini tujuannya kemana? ‘Mu’ ini kalau tujuannya kepada orang yang adzan itu yang kadang suaranya sember, suaranya tak beraturan, kadang juga asal teriak atau asal bunyi. Secara jujur dan estetik misalnya dibanding dengan kidung-kidung yang merdu, yang berirama, menyentuh hati secara faktual memang seperti itu,” ujar alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kondisi seperti ini menurutnya sudah diantisipasi oleh para wali pada zaman dahulu ketika Sunan Kalijogo mentransformasikan ayat-ayat Allah menggunakan seni, budaya dan tradisi. Karena hal itu sebagai sarana untuk menyebarkan, mengajarkan, dan menyampaikan pesan-pesan agama supaya lebih indah, lebih mudah diterima dan lebih menyenangkan ketika didengarkan orang.

“Akhirnya dengan cara seperti itu justru Islam bisa diterima oleh semua orang, dibanding dengan orang-orang yang berteriak-teriak tetapi suaranya enggak jelas meskipun itu suara yang mengandung kebaikan. Ini faktual, harus dibedakan antara pesan agama, ajaran agama dengan metode, cara atau alat menyampaikan pesan,” ujar pria yang memiliki ciri suka memakai blangkon ini.

Karena adzan itu adalah bagian dari ritual agama dalam memanggil orang untuk melaksanakan shalat dan karena suara adzan itu suara sakral, suara suci dan ritual agama, maka mestinya harus disampaikan dengan suara yang indah sehingga jangan sampai kalah dengan kidung.

“Nah kalau langgam kalah dengan kidung akhirnya dia menjadi bahan ketawaan orang dan bahan ejekan orang. Ketika ada orang ada yang merasakan seperti itu ya kita jangan marah, mestinya kita instropeksi lain kali kalau adzan suara atau langgamnya harus yang bagus, merdu,” ujanrya

Pria
kelahiran Pati, 27 Agustus 1966 ini mencontohkan, Sunan Kalijogo dulu ketika membangunkan orang untuk salat tahajjud tidak langsung mengutip ayat-ayat dalam kitab suci melainkan ditransformasikan menjadi kidung Rumekso Ing Wengi.

“Itu adalah contoh Sunan Kalijogo mencoba memperindah, mempercantik supaya pesan-pesan agama ini lebih mudah, gampang dan lebih enak diterima oleh para penyampai pesan. Karena itu sesuai dengan kondisi psikologis, kondisi kultural, kondisi tradisional masyarakat. Jadi marilah kita sama-sama mencoba untuk menghayati sejarah itu di muka bumi Indonesia ini,” ujarnya. https://www.beritasatu.com/


Agama dan budaya di Indonesia, jika dilihat dari konteks Islam yang berkembang dan hidup di Nusantara ini telah menjadi hubungan simbiosis. ...
SANKRAMA
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

Mengenal dan Meneladani Karakter Tokoh Pewayangan Jawa Pandawa Lima

Dalam pewayangan Jawa, banyak tokoh karakter pewayangan yang dapat dijadikan contoh baik, salah satunya adalah Pandhawa Lima.


Berdasarkan bahasa Sanskerta, Pandawa adalah anak dari Pandu, yaitu sang Raja Hastinapura. Putra Pandu tersebut terdiri dari lima putra mahkota yang disebut dengan Pandawa Lima.

Pandawa Lima merupakan tokoh pewayangan yang melambangkan sifat dan karakter positif yang memiliki sifat berseberangan dengan tokoh pewayangan Kurawa.

Pandawa Lima terdiri dari Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.

Pangeran Yudhistira, Bima, dan Arjuna merupakan anak dari Pandu dan Dewi Kunti, sementara Nakula dan Sadewa merupakan anak dari Pandu dan Dewi Madrim.

Kelimanya memiliki sifat dan karakter baik yang dapat dicontoh dalam kehidupan manusia.

Nah, yuk, kita berkenalan dengan masing-masing tokoh Pandawa Lima beserta karakternya!

“Pandawa Lima merupakan putra mahkota dari Pandu Dewanata.”

Pandawa Lima

1. Yudhistira

Yudhistira adalah putra tertua Pandu Dwanata dan Dewi Kunti. Ia memiliki nama kecil Puntadewa.

Ia memilki beberapa julukan, di antaranya adalah Dharmasuta (putra Dharma), Ajahasatru (tidak memiliki musuh, dan Bharata (keturunan Mahabharata).

Dalam cerita pewayangan, Yudhistira merupakan jelmaan Dewa Yama yang memerintah di Kerajaan Amarta.

Selain itu, Yudhistira memiliki keunggulan dalam ilmu kesusastraan dan ketatanegaraan.

Karakter: Bijaksana, tidak memiliki musuh, hampir tidak pernah berdusta, memiliki moral sangat tinggi, jujur, adil, suka memaafkan musuh, dan penuh percaya diri.

2. Bima

Putra kedua dari Pandu Dewanata dan Dewi Kunti adalah Bima. Saat masih anak-anak, ia dikenal dengan nama Sena.

Nama “Bima” berasal dari bahasa Sanskerta yang bermakna mengerikan.

Hal tersebut sesuai dengan perawakannya yang kekar, memiliki lengan panjang, dan berwajah paling galak dibandingkan dengan saudara-saudaranya.

Meski demikian, ia memiliki hati yang sangat baik.

Bima merupakan jelamaan dari Dewa Bayu sehingga menjadikannya memiliki julukan Bayusutha. Sedangkan dalam cerita pewayangan Jawa, Bima dikenal dengan nama Werkudara.

Karakter: Gagah berani, kuat, tabah, tidak pernah menjilat ludahnya sendiri, memiliki pendirian yang teguh.

“Yudhistira adalah penjelamaan dari Dewa Yama sang pemimpin Kerajaan Amarta.”

3. Arjuna

Arjuna meupakan putra ketiga sekaligus putra bungsu dari Pandu Dewanata dan Dewi Kunti. Ia memiliki nama kecil, yaitu Permadi.

Selain itu, ia memiliki julukan lain, di antaranya adlah Kitri (yang bermahkota indah), Partha (putra Kunthi), dan Dhanajaya (perebut kejayaan).

Julukan Danajhaya atau perebut kejayaan ia dapatkan karena berhasl mengumpulkan upeti ketika upacara rajasuya yang diadakan kakak pertamanya, yaitu Yudhistira.

Nama Arjuna berasal dari bahasa sansekerta yang bermakna bersinar atau bercahaya. Ia merupakan jelmaan dari Dewa Indra, sang dewa perang.

Karakter: Cerdik, pandai, lemah lembut budinya, teliti, dan suka melindungi orang yang lemah.

4. Nakula

Nakula adalah salah satu putra kembar dari Pandu Dewanata dan Dewi Madrim.

Ia memiliki nama kecil Pinten.

Nah, Nakula ini merupakan jelmaan dari Dewa kembar bernama Aswin, yaitu sang dewa pengobatan. Nakula memiliki keistimewaan memainkan pedang dengan mahir.

Karakter: Jujur, setia, taat pada orang tua, dapat menjaga rahasia.

“Nakula dan Sadewa merupakan putra kembar dari Pandu Dewanata dan Dewi Madrim.”

5. Sadewa

Sadewa juga merupakan putra kembar Pandu Dewanata dan Dewi Madrim. Ia memiliki nama kecil Tangsen.

Nah, Sadewa ini adalah saudara kembar dari Nakula, Adjarian.

Sama seperti saudara kembarnya, Sadewa merupakan jelmaan dari Dewa Aswin, sang dewa pengobatan.

Jika Nakula mahir dalam memainkan pedang, Sadewa mahir dalam bidang astronomi, lo.

Karakter: Jujur, setia, taat pada orang tua, tahu membalas budi.

Nah, demikian tokoh Pandawa Lima beserta karakternya.

Sekarang kita coba kerjakan soal berikut, yuk!



Dalam   pewayangan   Jawa , banyak tokoh karakter pewayangan yang dapat dijadikan contoh baik, salah satunya adalah Pandhawa Lima. Berdasark...
SANKRAMA Jumat, 26 Agustus 2022
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

Punakawan sebagai simbol kerendahan hati Orang Jawa


 Istilah punokawan yang konon berasal dari kata: pana yang artinya mengetahui dengan jelas, dan kawan artinya: teman atau sahabat.




Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan seni perlambang. Budaya wayang terus berkembang dari zaman ke zaman juga merupakan media penerang dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat.

Tak bisa dipungkiri bahwa seni pertunjukan tradisional yang paling luas penyebarannya hingga sekarang adalah wayang. Dalam epos Mahabarata yang diadaptasikan dalam seni wayang Indonesia terutama di Jawa, Sunda dan Bali terdapat tokoh yang dinamakan punokawan.

Punokawan secara karakteristik sebenarnya memawakili profil umum manusia. Mereka adalah tokoh multi peran yang dapat menjadi penasehat para penguasa atau satria bahkan dewa.

Punokawan berarti pula pelayan. Di dunia wayang dapat dibedakan antara pelayan tokoh baik dan tokoh jahat. Tokoh pelayan baik diwakili Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Tokoh punokawan dimainkan dalam sesi goro goro. Jika diperhatikan seksama ada kemiripan dalam setiap pertujukan wayang antaran satu lakon dan lakon yang lain. Wayang yang asli di India tidak ada nama tokoh punokawan. Punokawan hanyalah manivestasi dari bahasa komunikatif yang diciptakan oleh para sunan atau wali penyebar agama Islam di tanah jawa. Para tokoh punokawan di buat sedemikan rupa mendekati kondisi masyarakat Jawa yang beraneka ragam.

Istilah punokawan yang konon berasal dari kata: pana yang artinya mengetahui dengan jelas, dan kawan artinya: teman atau sahabat.

Sosok karakter Nala Gareng dan Petruk (wayang jawa) adalah saudara angkat yang diadopsi oleh Semar. Antara sosok Gareng dan Petruk ini terdapat karakter yang bertolak belakang. Gareng sekalipun berpikir cerdas dan bersikap hati-hati tetapi sulit menyampaikan sesuatu melalui kata-kata yang diucapkan dari mulutnya sendiri.

Berbeda dengan Petruk yang cenderung asal bicara tetapi sedikit bodoh. Tokoh Bagong lebih di gambarkan sebagai sosok manusia berwatak lugu yang apa adanya dan teramat sederhana, namun mempunyai ketabahan hati yang luar biasa dan tangguh. Sedangkan sosok Semar atau Batara ismoyo sendiri merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa yang luar biasa.

Jika Sunan Kalijaga diyakini sebagai pencipta tokoh Punokawan sebagai salah satu upaya untuk menyebarkan agama Islam di tanah jawa, maka ia pun mempergunakan hakikat yang tersirat di dalamnya dalam menjalankan aktivitas tersebut agar misinya bisa terlaksana dengan sebaik baiknya. Tentu mengaitkan nama tokoh tersebut disesuaikan dengan tujuan dan karakter yang bersangkutan.

Semar berasal dari kata Arab yaitu Simaar atau Ismaraun yang artinya paku. Paku adalah alat untuk menancap sesuatu barang agak tegak dan kuat dan tidak goyah. Ismoyo dari kata asmakku kemantapan dan keteguhan yang didasari keyakinan yang kuat agar usaha tersebut tertancap sampai mengakar. Nala gareng sejati berasal dari kata Naala Qorin yang artinya memperoleh banyak kawan.

Pretruk diadaptasi dari kata Fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek. Petruk juga disebut Kantong bolong maknanya bahwa setiap manusia harus mengamalkan harta yang berlebih kepada sesama dan menyerahkan diri kepada Yang Maha Kuasa secara ikhlas tanpa pamrih. (Suparjiyono dengan edit ulang oleh Purwoko)

  Istilah punokawan yang konon berasal dari kata: pana yang artinya mengetahui dengan jelas, dan kawan artinya: teman atau sahabat. Wayang a...
SANKRAMA
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

Arti dan Bentuk Ketimpangan Sosial yang Sering Ditemukan di Masyarakat

Ketimpangan sosial tampaknya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Ketimpangan sosial tak pernah hilang dari zaman ke zaman hingga saat ini era globalisasi.


Ketimpangan sosial merupakan buah dari bermacam kondisi masyarakat, dari miskin sampai kaya. Ketimpangan sosial bisa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat luas karena memicu kecemburuan sosial. Dilansir dari berbagai sumber, berikut ini pengertian dan bentuk ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial adalah situasi di tengah masyarakat yang menunjukkan adanya ketidakmerataan atau ketidakseimbangan. Penyebabnya karena perbedaan aspek yang ada di masyarakat, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun budaya.

Ketimpangan sosial juga disebabkan ketidakmerataan akses yang diperoleh untuk pemanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya tersebut meliputi kebutuhan primer seperti pendidikan, kesehatan, peluang dalam bidang pekerjaan. Selain itu, sumber daya kebutuhan sekunder seperti sarana pengembangan pengadaan usaha, perjuangan hak asasi, sarana penyaluran gagasan politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain. Ada beberapa bentuk ketimpangan sosial yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Berikut ini bentuk-bentuk ketimpangan sosial dalam berbagai bidang yang disebabkan oleh beragam faktor, di antaranya:

  1. Pembangunan infrastruktur di kota tampak lebih masif dan cepat dibandingkan di desa. 
  2. Koruptor yang mengambil uang rakyat hingga miliaran rupiah hanya dihukum selama 3 tahun sedangkan orang yang maling singkong dapat ditahan hingga belasan tahun. 
  3. Orang yang berpenampilan modis cenderung diperlakukan dengan sangat baik oleh pelayan dan perlakuannya sangat berbeda dengan orang yang berpenampilan biasa saja. 
  4. Penyandang disabilitas tidak memperoleh fasilitas transportasi yang cukup layak.
  5. Kesempatan menimba ilmu pengetahuan di pedesaan cenderung sulit. 
  6. Akses layanan kesehatan masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah sangat berbeda, adanya perbedaan pemberian layanan kesehatan di rumah sakit antara pasien kaya dengan pasien miskin. 
  7. Pendidikan terutama pendidikan lanjutan lebih mudah diakses di area perkotaan dibandingkan di pedesaan. 
  8. Murid yang berprestasi diperlakukan sangat baik oleh guru dibandingkan dengan murid yang tidak berprestasi. https://nasional.sindonews.com/



Ketimpangan sosial tampaknya telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Ketimpangan sosial tak pernah hilang dari zaman ke zaman hingga...
SANKRAMA