Menu
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

Mencintai Keluarga cara membentuk keluarga harmonis


Dikutip dari Kompasiana,
Apa makna keluarga bagi anda? Bila pertanyaan itu kebetulan dilontarkan kepada kita, secara umum jawaban yang muncul kurang lebih tak akan jauh dari pernyataan ini: keluarga sangat berarti bagi saya, keluarga milik saya yang paling berharga, keluarga anugrah terindah dalam hidup saya dan jawaban-jawaban lain yang senada. Pendek kata keluarga adalah sebuah ikatan kekerabatan yang menempati posisi penting dan istimewa dalam kehidupan manusia. Tak peduli siapapun manusia itu.

Begitu istimewanya sampai-sampai tidak sedikit manusia yang rela mengorbankan segalanya demi keluarga. Bukan hanya waktu, tenaga, bahkan nyawa. Pada titik inilah pengorbanan demi keluarga mesti disikapi secara bijak. Melakukan sesuatu demi keluarga, itu penting dan bahkan sangat penting. Namun bila demi “membahagiakan” dan “menyenangkan” keluarga harus rela melakukan apa saja, termasuk dengan hal-hal yang menyimpang tentu urusannya menjadi lain.

Sepertinya tak sedikit manusia yang “berlebihan” dalam urusan ini. Demi menyenangkan istri, seorang suami rela berlaku tidak jujur, menjual dusta sana sini, mengkorup ini dan itu. Demi masa depan anak, seseorang rela menumpuk-numpuk kekayaan, kalau perlu tak habis hingga tujuh turunan, dengan segala cara termasuk mendzalimi mereka yang lemah. Para koruptor itu, baik yang kelas teri sampai yang kakap, disamping utuk dinikmati sendiri – bersenang-senang sana sini, sering membagi hasil korupsinya pada anggota keluarga.

Mereka terjebak pada persepsi bahwa mencintai sama artinya memberi gelontoran materi. Kalau perlu sebanyak-banyaknya. Harapannya dengan materi yang berlimpah anak istri akan tercukupi segala kebutuhannya. Dengan materi yang berlebih itu mereka ingin membeli kebahagiaan. Tidak hanya kebahagiaan bahkan kemulyaan. Bukankah selama ini kemulyaan seseorang banyak diukur dari kepemilikan materinya? Persepsi semacam itulah yang merangsang seseorang memburu harta benda. Agar bahagia, syukur dapat pujian dari kanan kiri.

Mereka agaknya lupa atau mungkin tidak mengetahui bagaimana cara mencintai dan memperlakukan keluarga secara benar. Bagaimana bisa disebut mencintai bila yang dia lakukan bukan untuk memberi kebahagiaan dan kemulyaan pada keluarga, namun justru kehinaan. Bagaimana bisa disebut memberi kemulyaan bila sejatinya yang dia suguhkan adalah bara api. Kemulyaan hanya bisa dibangun dari sebuah niat yang benar dan baik dan dilakukan dengan proses yang juga benar dan baik.

Jagalah  Keluarga dari Api Neraka

Sebuah pesan yang sudah sangat terkenal dan termaktub dalam kitab suci adalah perintah agar kita memelihara diri kita  dan keluarga dari api neraka. Pesan ini secara lengkap terdapat dalam al Qur’an Surat At Tahrim ayat 6  yang kurang lebih artinya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Saya sangat yakin semua ajaran agama, agama apapun itu, tidak memberi restu kepada pemeluknya untuk berlebih-lebihan dalam mencintai keluarga. Karena sikap berlebihan akan menjauhkan seseorang dari sikap proporsional. Hilangnya sikap proporsional memudahkan seseorang terseret hawa nafsu. Dan sudah menjadi karakter bawaan bahwa hawa nafsu hanya menuntun dan mengarahkan manusia pada hal-hal buruk dan menjauh dari Tuhan.

Kalau begitu sikap terbaik yang dilakukan adalah bersikap proporsional. Dalam bahasa agama istilah tersebut sering disepadankan dengan istilah adil yang berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dengan sikap adil seseorang dituntun untuk melakukan sesuatu sesuai takaran yang dibutuhkan. Dengan sikap adil tidak mungkin seseorang demi alasan mencintai, memulyakan, membahagiakan  namun justru melakukan sesuatu yang menjauh dari Tuhan. Karena cinta, kemulyaan dan kebahagiaan manusia pada hakekatnya saat dia dekat dan makin dekat dengan Tuhan.

Proporsional walau tidak sama persis namun bisa dikaitkan dengan sikap sederhana. Sederhana dalam Kamus Bahasa Indonesia diantara artinya adalah: bersahaja, tidak berlebih-lebihan; sedang, tidak tinggi, tidak rendah. Kalaulah bersikap proporsional itu tidak mudah- karena menakar sesuatu dengan pas memang sulit, apalagi menyangkut pilihan-pilihan tindakan yang ukurannya bukan matematis, alangkah baiknya kalau kita mencoba belajar bersikap sederhana. Mencoba mencintai keluarga dengan sederhana.

Mencintai keluarga dengan sederhana dalam pengertian mencintai sesuai kemampuan yang kita miliki, Tidak memaksakan diri,  tidak melebih-lebihkan diri. Dalam hal menafkahi sebisa mungkin berasal dari hasil keringat sendiri. Bukan dari hasil hutang kanan kiri, apalagi korupsi dan mendzalimi sana sini. Mencoba dengan gaya hidup yang membumi, tidak di awang-awang. Berusaha menjadi diri sendiri. Kalaupun ingin berubah, itu bukan karena ingin menjadi orang lain, namun lebih sebagai upaya perbaikan agar diri kita bisa makin dekat dengan sesama dan pastinya makin dekat dengan Tuhan.

Walhasil, bersikap sederhanalah, jangan berlebih-lebihan. Karena dibalik kesederhanaan ada kemulyaan dan kebahagiaan. Kemulyaan dan kebahagiaan yang sejati, bukan imitasi.





Tidak ada komentar