Menu
PAGUYUBAN KELUARGA DJUWENI

Dalang sebagai tangan kanan raja untuk mempertimbangkan berbagai masalah


Kewajiban dalang adalah sebagaimana seorang pujangga. Jaman dahulu pujangga merupakan orang netral yang sengaja dijadikan tangan kanan raja dalam hal pertimbangan berbagai masalah yang berkenaan dengan poleksosbudhankam. Ingatkah masa akhir Soeharto yang mengumpulkan berbagai tokoh budaya seperti Ainun Najib, Willy (WS Rendra), dan lain-lainnya? Tokoh budaya itu hampir bisa disebut sebagai pujangga, namun belum. Nah dalang dianalogikan sebagai seorang pujangga. Pada masa era kerajaan dalang adalah corong pujangga, bukan sebagai corong pemerintah. Dimana seorang pujangga membuat manuskrip cerita yang bersumber pada Mahabarata dan Ramayana, kemudian dalang mentransfernya ke dalam sajiannya, manuskrip yang dibuat oleh pujangga tersebut sudah disesuaikan dengan kondisi poleksosbudhankam pada eranya masing-masing. Yasadipura mengubah Ramayana menjadi Serat Rama, Ranggawarsita mengubah Mahabharata dan Ramayana menjadi Serat Pustaka Raja. Di sana karya-karya pujangga tersebut kemudian dijadikan pakem (diktat) para dalang, sehingga masyarakat sangat menggemari wayang karena menyampaikan berita yang aktual dan sebagai pencerah.

Era setelah pujangga, seorang dalang yang seharusnya menjadi pengganti posisi kapujanggan merasa kehilangan kendali, karena terbiasa dicekoki atau tinggal memakan saja, sebagai konsumer, kini pujangga tidak ada, jadi terkesan kehilangan kiblat tidak tahu apa-apa. Akibatnya pertunjukan wayang semakin merosot secara moralitas, dan semakin dijauhi oleh para penggemarnya. Ironisnya sampai sekarang hal ini juga belum disadari oleh para penyandang gelar dalang itu sendiri, baik itu yang tenar maupun lokal. Kenapa saya berani berkata begitu, karena kebanyakan dalang alergi terhadap politik, terhadap hukum, terhadap ekonomi (kalau berbicara ini kan jadi malu ketika dia mengkebiri uang musisinya) dan lain sebagainya. Jamannya sudah berubah, berhubung perubahan ini tidak disampaikan oleh para pujangga maka akhirnya dalang tidak berubah, masih bersifat feodal (mungkin semua sistem sekarang di Indonesia masih feodal ya atau lebih keren istilahnya neokapitalisme).

Dari paparan itu maka dapat disimpulkan bahwa dalang itu bertugas sebagai seorang kritikus kehidupan kenegaraan, bukan sebagai corong pemerintah (adanya PEPADI dan SENAWANGI kurang saya anggap pas, karena porsi mereka masih di bawah naungan pemerintah dan hanya sebagai corong saja, justru menghambat kinerja dalang sebagai makhluk independen dalam berkarya) yang mengaktualkan dalam karyanya melalui cerita. Ketika Ranggawarsita mampu mengubah Mahabharata dengan mempoles dimana-mana, mengimbuhi berbagai adegan dan mampu menggabungkannya dengan Ramayana menjadi satu diktat yang disebut dengan Pustaka Raja Purwa dan berkat kepemerintahan Mangkunegara IV yang menterjemahkan kitab tersebut ke dalam bentuk balungan lakon (urutan adegan) yang disebut dengan Pakem Pedalangan Lampahan Wayang Purwa bukankah itu suatu kinerja antara pujangga, raja dan dalang sebagai alat penyampai kabar merupakan sinergi yang kuat untuk menjalin persatuan antara rakyat dan pemerintahnya. Matinya kapujanggan dan sistem kerajaan berarti dalang adalah menanggung beban kedua unsur tersebut, paling tidak adalah sebagai pujangga sekaligus. Apa itu pujangga?

Saya masih ingat kata-kata Ki Jlitheng Suparman ketika kami berdiskusi, bahwa seorang pujangga itu adalah seorang yang pana atau awas dan paham serti mengerti dalam hal politik, ilmu sosial, ilmu ekonomi, hukum, pertahanan dan keamanan sekaligus, mungkin bisa disingkat poleksosbudhankam. Jadi bukan hanya sekedar pandai menurat tulisan, membuat buku dan lain sebagainya, tapi wawasannya yang meliputi berbagai sendi kehidupan bernegara tersebut yang perlu digarisbawahi. Karena wawasannya tersebut maka dia selalu dijadikan tangan kanan raja, penasehat raja, dengan harapan keputusan raja sudah mempertimbangkan berbagai unsur tersebut. Meskipun sebenarnya pada jaman kerajaan memiliki punggawa yang sederajad dengan menteri dan menguasai sendi tertentu, tetapi peranan pujangga yang menempatkan dirinya netral (independen) ini lebih tinggi dari jabatan para menteri-menteri tersebut.

Sebagaimana tersebut di atas bahwa ketika era pujangga telah tiada, maka penggantinya adalah dalang, maka dalang itu harus memiliki wawasan luas seperti seorang pujangga. Tidak salah ketika Soekarno senang menonton wayang, karena dia mampu melihat gejolak rakyat jelata dalam pertunjukan tersebut, dan sekaligus kritikan bagi pemerintahan yang dia jalankan. Baru pada tahun 1977 Soeharto merusak kinerja dalang sebagai seniman independen menjadi budak yang bertugas menjadi corong, guna menunjang pemerintahannya. Bahkan memenjarakan beberapa dalang yang dianggap bertentangan seperti kasusnya Mbah Tristuti yang dianggap dalang PKI.

Nah sekarang sudah tahu bukan bahwa menjadi seorang dalang itu memang susah, dan sangat sulit. Maka tolong teman-teman kompasiana jangan menyebut saya mas dalang atau pak dalang, saya belum mampu dan kapasitas saya tidak mampu untuk menerima gelar tersebut. Dan sangat tidak etis tentunya menggunakan kata dalang sebagai istilah yang tidak sewajarnya, dikhawatirkan nanti anak cucu kita memahami kata dalang itu artinya “kepala”, “otak” sehingga semakin jauh dari harapan awalnya.Semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran sangat saya butuhkun demi keberlangsungan tulisan ini ... terima kasih. #Kompasiana.com





Tidak ada komentar